Sunday 26 October 2014

Cerpen Bobo Legenda Smong

Bobo edisi 28, Kamis 16 Oktober 2014






LEGENDA SMONG
*FiFadila*


            “Halah, itu cuma legenda. Nggak mungkin nyata!” Baron menertawakan ketakutan Rukiyah.
          “Itu bukan legenda belaka. Nenekku mengalaminya sendiri seratus tahun yang lalu. dia bertemu smong di tahun 7. Banyak orang mati tersangkut di pohon durian.” Rukiyah berusaha keras meyakinkan orang-orang. “Smong akan datang setiap seratus tahun. Jadi kita semua harus waspada dengan laut. Kalau bisa kita pindah dari pantai agar tidak kena amuknya yang mengerikan.”
Rukiyah berpegang teguh pada legenda smong dari pulau kelahirannya, Pulau Mentawai. Meski dia sudah bepergian jauh ke ibukota, dia selalu mengingat dan berhitung dengan tahun. Jika neneknya benar maka tahun ini smong akan datang menghantam pantai, menyerang manusia-manusia dan benda yang ada di sekitar pantai.
“Sudah, jangan takut-takuti kami!”
“Jika kalian tak mau pindah tak mengapa. Tapi tetaplah waspada. Ingat pesan nenekku. Tanda-tanda datangnya smong adalah gempa besar diikuti laut surut. cepatlah pergi ke bukit sebelum smong menghajar kalian. Jangan pikirkan harta benda. Larilah agar nyawa kalian selamat.” Rukiyah tetap kukuh mengingatkan orang-orang seibukota.
Namun tak seorangpun percaya perkataan Rukiyah. Ada beberapa orang yang mengejeknya gila karena percaya pada legenda. Ejekan penduduk makin menjadi saat purnama kedua lewat. Gempa memang terjadi tapi smong tidak datang. Purnama ketiga, keempat sampai kesebelas terlewat sudah. Smong tidak terlihat. Orang-orang seibukota semakin riuh mengejek Rukiyah.
“Smong hanya legenda jadi berhentilah menakut-nakuti kami,” ejek Baron.
Rukiyah sedih dan takut. Jika tak ada lagi yang percaya maka smong dengan mudah menggilas seluruh penduduk. dia pun berpikir apa yang harus dia lakukan untuk membawa orang seibukota lari ke gunung bila smong muncul.
Siang itu Rukiyah tengah memanggul beras di pasar. Pekerjaan kasar khusus orang laki-laki. tapi hanya itu pekerjaan yang bisa dia kerjakan. Ia dianggap gila oleh orang-orang sekitarnya sehingga tak ada yang mau mempekerjakan dia di tempat yang sesuai.
Hyut…hyut…Brrkk… Rukiyah merasa jalannya oleng. Getaran itu terasa makin lama makin keras. Berarti bukan kantung berasnya yang berat atau kepalanya pusing. Tapi itu adalah sebuah gempa yang sangat keras. Goni beras di pundaknya sampai dia jatuhkan ke tanah.
“Ikan, ikan, ikan,” serombongan orang berteriak. Mereka terdengar tergesa menuju pantai. “Laut surut. Kita bisa panen ikan.”
Rukiyah langsung waspada. Gempa besar. Pantai surut. Ia tak perlu melihat pantai untuk memastikan. Dia harus cepat-cepat menyelamatkan diri ke bukit terdekat. Dia hanya punya waktu sebentar sebelum smong datang. limabelas atau duapuluh menit. Tapi bagaimana mungkin dia tega meninggalkan orang-orang menjemput kematian mereka di pantai?
“Sembako gratis, sembako gratis di atas bukit sana! Cepat, sebelum kehabisan!” teriak Rukiyah spontan pada orang-orang yang berbondong menuju pantai.
Perhatian orang-orang terpecah. Mereka tertarik mendengar teriakan Rukiyah.
“Banarkah?” tanya orang-orang menoleh pada Rukiyah.
“Ini, aku habis  ambil ke bukit sana.” Rukiyah menunjuk karung ditanah.
“Tunjukkan letaknya pada kami,” desak orang-orang.
“Ayo cepat! Kita harus lari.” Rukiyah berlari mendahului mereka. Ia pun berteriak sembako gratis di sepanjang dia lewat.
Orang-orang yang mengikutinya pun semakin panjang. Lari Rukiyah semakin kencang menaiki bukit. Berlari, lari, lari terus ke puncak tertinggi.
“Hei berhenti. Kamu mau kasih sembako gratis apa membohongi kami? Kamu kan Rukiyah si orang gila.” Teriak seorang yang terengah-engah.
“Dia rukiyah gila!” teriak orang lain. rombongan itu langsung terhenti. Mereka baru sadar telah mengikuti ornag yang selama ini mereka anggap gila.
“Hei, Rukiyah. Kamu bikin kami rugi. Kami tadi harusnya panen ikan di pantai. Kamu malah membohongi kami sembako gratis.” Teriak seseorang di depan.
Wajah Rukiyah ketakutan. Dia menunjuk arah laut. Ia khawatir lari mereka belum cukup tinggi. Gemuruh laut begitu keras. Rombongan yang melihat laut terpekik ngeri. Ombak yang biasanya berdebur menabrak karang, sekarang terlihat terbang tinggi, mengejar dan ingin melahap bukit yang mereka naiki.
Byur… air laut menghantam daratan.  Orang-orang yang masih dibawah terpekik takut terbawa arus laut yang menghantam sisi bukit. Beruntung tak ada seorang pun yang terhantam air laut yang tiba-tiba menggunung tinggi.
Rombongan itu tak ada yang berbicara. Mereka ketakutan melihat genangan air di sekitar bukit. Menggeret rumah dan segala macam benda di bawah sana. Seharian semalam rombongan itu berada di atas bukit. Sedih, kuyu, dan ngeri. Kampung nelayan mereka rata dengan tanah. Smong yang mereka anggap hanya legenda, baru saja datang dan mengambil harta benda mereka. Untungnya bukan nyawa mereka yang terambil. Sejak saat itu penduduk di sepanjang pantai samudra hindia mengenal legenda smong sebagai bencana tsunami yang harus diwaspadai.(*)


Baca juga cerpen dan dongeng ini:

No comments: