Sunday 26 October 2014

Cerpen Bobo Rumah Misterius

Cerpen Bobo no. 14 Kamis, 10 Juli 2014






RUMAH MISTERIUS
*FiFadila*


Damar mengayuh sepedanya cepat-cepat. Dia takut terlambat sekolah. Padahal itu hari pertama setelah libur semester. Biasanya dia berangkat jam enam. Tiba di sekolah sepuluh menit sebelum masuk. Pagi ini dia baru bangun pukul enam. Pasalnya selama seminggu liburan kemarin dia bantu Bapak panen padi. Alhasil, dia ingin tiduran terus rasanya. Sayangnya Ibu tidak setuju dia bermalas-malasan. Sekolah harus jadi nomer satu.
           
Damar berhenti mengayuh dengan hati berdebar. Dia bisa potong kompas lewat jembatan lama. Tapi dia tidak yakin jembatan kayu tua itu aman. Selain itu, sebelum jembatan ada rumah tua misterius. Banyak yang melihat bayangan putih di jendela rumah. Kadang kala ada sosok hitam di kebun belakang rumah. Ada juga yang bilang aroma makanan-makanan aneh tercium sepanjang setapak menuju jembatan. Lebih aneh lagi berita setiap orang yang lewat situ pasti kecelakaan.

            Damar bergidik. Namun, jam sudah menunjukkan pukul tujuh kurang limabelas. Dia menghilangkan rasa takutnya dengan mengayuh rodanya secepat kereta.  Astaga, bau masakan apa ini? pikiran Damar berpacu. Dia semakin mengayuh sepedanya secepat jet. Saat di tikungan, Damar tidak bisa menguasai sepeda.

            Bruak. Sepeda Damar menabrak pohon pisang. Damar terguling di sebuah kebun. Saat bangun, Damar berada di sebuah ruangan. Telapak tangannya dan lututnya sedikit lecet. Nampaknya seseorang telah mengolesnya obat kuning mengilat.

            “Ah, sudah siuman rupanya. Kau bersepeda seperti pembalap kalap. Untung saja kau jatuh di tanah yang baru kugemburkan. Kalau kau jatuh di kebun nanasku, bisa luka parah kulitmu.”

            Seorang bapak berusia sekitar 50 tahun masuk ruangan. Dia berjenggot panjang dan berjubah putih. Damar  gemetaran.

            “Aku Pak Ublik, pemilik rumah ini.”

            “A-apa a-aku di rumah tua?” Damar bergidik ngeri. Apalagi tercium kuat aroma masakan yang membuatnya gelisah sejak tadi.

“Tidak usah takut. Kamu tidak perlu bayar biaya obatnya,” gurau Pak Ublik. Dia membuka tutup nampan di meja kecil samping Damar. “Cobalah nasi biryani buatanku.”

Aroma nasi kuning pekat membuat perut Damar berbunyi. Rasa takutnya hilang. Yang dia ingat, waktu berangkat tadi belum sempat sarapan. Tanpa disuruh duakali Damar mnghabiskan makanan di atas nampan. Damar tidak pernah menikmati nasi seenak itu.
           
Pak Ublik bercerita panjang lebar pada Damar. Dia pernah merantau sebagai juru masak di Timur Tengah tigapuluh tahun lalu. Sepuluh tahun berikutnya dia kembali ke desanya. Dia mendapat warisan rumah tua yang dia renovasi sebagai rumah makan. Awalnya rumah makan itu banyak pengunjung. Apalagi daerah itu jalan pintas menuju kota. Namun sejak lima tahun lalu tempat itu sepi. Pemerintah sudah memperbaiki jalan propinsi dan membangun jembatan besar menuju kota. Semua penduduk sekitarnya pindah ke pinggir jalan utama.

            “Mengapa Bapak tidak ikut pindah?”

            “Hanya ini satu-satunya rumah Bapak. Bapak sudah mencoba bekerja di kota tapi tidak ada yang menerima. Para pemilik hotel dan restoran kota lebih membutuhkan koki masakan Cina. Jepang, dan Barat. Sejak itu Bapak lebih suka tinggal di sini dan berkebun. Apalagi istri bapak sakit-sakitan. Dia meninggal setahun lalu.”

            Damar merasa kasihan dengan Pak Ublik. Sepertinya dia kesepian. Tiba-tiba Damar teringat sesuatu.

 “Kantin sekolah kami tutup karena juru masaknya pindah tiga bulan lalu. Kepala Sekolah pasti mau menerima Bapak.”

Pak Ublik tidak keberatan mencoba usul Damar. Dia berangkat bersama Damar ke sekolah. Dia menjelaskan terlambatnya Damar kepada Kepala Sekolah. Dan juga melamar pekerjaan sebagai juru masak kantin sekolah. Betul perkiraan Damar, Kepala Sekolah senang bertemu Pak Ublik. Apalagi nasi biryani yang dibawanya sangat enak. Damar melihat sinar haru di mata Pak Ublik.
           
“Terimakasih, Damar. Bapak merasa keahlian masak Bapak berguna lagi.”

            Ada kejadian mencengangkan keesokan harinya. Pak Ublik memberitahu bahwa jembatan kayu tua tak jauh dari rumahnya semalam putus dan hancur. Damar tercengang. Kalau saja dia tidak terjatuh menabrak pohon pisang. Dia tidak akan berkenalan dengan Pak Ublik dan masakan lezatnya. Saat Damar menunjukkan letak pohon pisang yang dia tabrak, pohon itu sama sekali tidak ditemukan. Misterius, sungguh misterius, pikir Damar. Apakah pohon pisang itu hanya muncul untuk mencegah seseorang melintasi jembatan kayu tua?(*)


Baca juga cerpen dan dongeng ini:
Dongeng Rahasia Guri


1 comment:

Queen Aulia said...

Ceritanya bagus banget.. Pak Ublik ditakdirkan bertemu Damar dengan cara misterius, tapi akhir kisahnya indah. Pak Ublik bisa berkarya lagi dengan masakannya 🍽